Palmas Fish
Ikan palmas ini merupakan ikan yang bersal dari negara Afrika Barat.
Di Indonesia ikan ini banyak disebut sebagai ikan naga, sama seperti
ikan arwana. Ada juga orang banyak yang menyebut ikan ini adalah ikan
ular, karena bentuknya mirip ular.
Makanan ikan ini adalah ikan kecil atau waktu kecil dia memakan
cacing rambut. Ikan ini boleh dicampur dengan ikan pemangsa lainnya
seperti aligator tadi, atau oscar juga bisa. Jenis palmas ada banyak dari warnanya yang berbeda-beda, dan corak
tubuh yang berbeda membuat ikan ini sangat banyak dipelihara oleh
orang-orang.
Ukuran ikan ini bisa mencapai panjang 30 cm. Untuk harga ikan palmas mulai dari Rp. 10.000 untuk ukuran yang masih kecilnya.
Ikan palmas atau ikan naga (Polypterus senegalus
senegalus Cuvier, 1829) merupakan ikan hias air tawar yang berasal dari
Afrika. Ikan tersebut merupakan salah satu ikan primitif yang masih
bertahan hidup hingga sekarang. Keunikan ikan tersebut terlihat dari
bentuk tubuh yang silindris, sirip dada yang menyerupai kipas (fan-like
pectoral fins), sirip punggung yang menyerupai layar, dan memiliki
insang eksternal sampai tahap benih.
Klasifikasi Ilmiah Ikan Hias Palmas (Ikan Naga)
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Actinopterygii
Subclass : Chondrostei
Order : Polypteriformes
Family : Polypteridae
Genus : Polypterus
Species : P. palmas
Cara Memelihara dan Merawat Ikan Palmas
Ikan Palmas in sebenarnya termasuk jenis ikan hias yang cukup mudah
dipelihara. Mereka mampu hidup dalam kondisi air yang kotor dan bahkan
mampu pula hidup tanpa air dalam tenggang waktu yang cukup lama.
Walaupun begitu, agar ikan Palmas dapat hidup sehat dan juga terawat,
tentu ikan ini tetap memerlukan perawatan serta pemeliharaan yang
tepat. Akuarium tetap membutuhkan filter dengan sirkulasi air yang baik
dan rutin dikuras secara teratur.
Ikan ini sebaiknya ditempatkan pada akuarium dengan air yang bersuhu
pada kisaran 16 sampai 27 derajat celcius. Sedangkan untuk tingkat
keasaman airnya, sebaiknya berkisar pada pH air antara 6,5 hingga 7.
Ikan Palmas atau ikan naga ini lebih banyak menghabiskan waktunya
sehari-hari dengan merebahkan diri di dasar air. Selain itu, ikan Palmas
ini memiliki sirip bawah yang cukup kuat sehingga ia mampu berjalan
dengan siripnya, atau bahkan melompat keluar dari akuarium.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan seperti
melompat keluar dari akuarium, kemudian menghilang atau bahkan mati
kekeringan, sebaiknya siapkan penutup yang sekiranya mampu menghalangi
agar ikan ini tak mampu keluar dari akuarium.
Untuk masalah pakannya, karena ikan Palmas tergolong jenis ikan hias
karnivora, predator kecil ini bisa diberikan pakan berupa cacing sutera
atau jenis cacing kecil lainnya. Selain itu, ikan ini juga dapat
diberikan pakan berupa pelet tenggelam.
Membedakan Jenis Kelamin Hingga Melakukan Pemijahan
Ikan Palmas berjenis kelamin jantan dengan ikan Palmas berkelamin
betina dapat dibedakan dengan melihat kelebaran sirip bawah bagian
belakangnya. Ikan Palmas jantan cenderung memiliki sirip bawah bagian
belakang yang lebih lebar daripada betina. Bahkan ukurannya hampir 2
kali milik betina.
Ikan Palmas yang telah berusia kurang lebih satu tahun, baik jantan
maupun betina sudah dapat dikembang biakkan. Pemijahan dapat dilakukan
secara massal (2 jantan dengan 3 betina) dan bisa pula dilakukan secara
satu pasang saja.
Siapkan wadah berupa kolam semen, bak plastik, akuarium, ataupun
sejenisnya yang berukuran 100 cm x 50 cm x 40 cm, lengkap dengan
airatornya agar kebutuhan oksigen dapat tersirkulasi dengan baik. Wadah
tersebut kemudian diisi air dengan kedalaman sekitar 25 cm.
Jangan lupa untuk meletakkan substrat di dasar wadah. Hal tersebut
dilakukan karena setelah ikan Palmas melakukan perkawinan dengan
pasangannya, telur akan diletakkan pada substrat. Setelah telur
terlihat, pindahkan substrat ke wadah penetasan. Telur akan menetas
setelah 3 atau 4 hari.
Ikan “Palmas” atau ikan naga merupakan ikan
dengan Genus Polypterus, dari takson famili Polypteridae;
Actinopterygii. Sebutan interkomunalnya disebut “Bichir”. Di daratan
Afrika, ikan ini menyandang nomenklatur sangat variatif tergantung dari
mana asal spesies originalnya. Fosil hidup Polypterus dikenal di dunia
sebagai buah hasil ekspedisi fenomenal ke daratan Mesir dan daratan
medium Afrika yang diprakarsai oleh Napoleon Bonaparte (Gillispie,
1989).
Dalam ekspedisinya mencari daratan kolonisasi, Raja Napoleon selalu membawa gloria biologis ternama pada zamannya, yaitu Geoffroy dan Hillarie dari Museum Naturelle d’Histoire dan Academie Royale des Sciences (Fessy, 1998). Tujuan pendampingan selama ekspedisi ekspansial Perancis tersebut, untuk mengkarakterisasi dan mengoleksi diversitas biotop yang ditemuinya.
Distribusi spesiesnya sangat luas dengan sentrum diversitas tepat di jantung Benua Afrika (Roberts, 1975; Otero et al., 2006). Spesies-spesies Polypterus terkenal kanibalisme, dan memakan insekta air, dan katak kecil. Di sisi lain, Polypterus sangat resisten dengan perubahan habitat, dan mampu bertahan hidup pada kondisi air yang ekstrim. Resistensi ini beralasan karena dibalut karakter morfologi yang keras-kuat di mana evolusi adaptatifnya jauh lebih tua dibandingkan dengan takson teleostei lainnya (Gosse, 1990).
Tubuh Polypterus memanjang lonjong yang diakhiri dengan fluks ekor warna krem. Bagian posterior caudal ikan ini tergolong diphycercal (tipe caudal similar dengan Coelacanth) seperti pada kebanyakan spesies ikan purba yang masih tersisa (Britz, 2004). Dalam dekade terakhir semua spesies Polypterus sudah dapat didomestikasi dan dikembangkan menjadi ikan hias. Toleransinya pada multi-habitat, kontur-postural badan yang unik, dimorfisme, dan tingkah laku lainnya dalam akuarium menjadi sederetan kalkulasi menarik bagi penggemar ikan hias di lima benua. Kegembiraan para penggemar ikan hiaspun membumbung karena pada kesimpulannya ikan ini sangat mudah dibudidayakan. Selain karena maksud “menggemari” dan sebagai asuhan pada domain akuaria, manusia modern sesungguhnya secara tidak langsung telah mereservasi spesies primitif untuk sebuah keberlangsungan warisan dunia.
Daratan tertua se-planet “Afrika” dialiri ribuan ekosistem riverin (sungai), baik sungai besar dan kecil hingga perairan semi-lentik. Ekosistem akuatik yang kaya nutrisi di bagian tengah Afrika adalah rumah bagi 17 spesies taksa Polypterus (Roberts, 1975).
Dsitribusi spesiesnya hampir merata di Afrika tengah, ekspansinya berlangsung di bawah skenario isolasi fragmen habitat “Allopatrik” sejak pertengahan Miosen (10 juta tahun lalu). Pada bagian timur Afrika, dihuni dua spesies ( P. bichir dan P. endlicheri). Di bagian tengah Afrika, Sungai Zaire, sains mencatat fenomena isolasi spesies secara “Simpatrik” yang didiami oleh 7 spesies dan 3 sub spesies (P. endlicheri, P. congicus, P. ornatipinis, P. delhenzi, P. palmas, P. retropinis, dan P. poli). Masih di daratan tengah Afrika, sungai-sungai besar di region Katanga dihuni tiga spesies yang diduga sebagai spesies sinonimous karena tingginya plastisitas fenotipiknya yaitu P. ornatipinis, P. bichir, dan P. weeksii. Bagian barat Afrika, tepatnya di Nigeria, takson ini mendiami beberapa ekosistem riverin dan lakustrin dengan distribusi 5 spesies ( P. endlicheri, P. bichir lapradei, P. endlicheri, P. senegalus (Hanssens et al., 1995; Brunet, 2000), kawasan ini pula menjadi habitat yang baik bagi satu spesies sister-intergenerik Erpetrichthys calabaricus (Kodera et al., 1992)
Referensi ilmiah teraktual melaporkan bahwa Polypterus masih menyisakan perdebatan krusial di kalangan masyarakat ilmiah, karena posisi jejak relasi-evolusinya jauh lebih tua dibandingkan dengan tetua Teleostei lainnya (Gallo, 2004; Rocco et al., 2004; Noack et al., 2006; Suzuki et al., 2010).
Habitat dan Tingkah Laku
Pada observasi ekologi dan habitatnya, spesies-spesies Polypterus umumnya ditemukan di perairan aliran lambat, rawa genangan, tepian sungai, dan danau-danau semi tertutup yang dominan ditumbuhi vegetasi akuatik (Poully, 1993; Reichard, 2008). Di habitat aslinya, “Palmas” hidup di dasar sungai yang sedikit keruh dan dangkal sebagai salah satu faktor pendukung predasi. Secara global menyukai perairan dengan temperatur ekuatorial antara 25°C–28°C dengan pH netral hingga sedikit asam (Hanssens et al., 1995).
Spesiesnya sangat toleran terhadap kualitas air dan temperatur yang rendah, toleransi ini diduga kuat karena proses adaptasi-evolusinya yang kuat sejak pertengahan Miosen (Britz, 2004). Parameter lain, Patterson (1982) melaporkan bahwa umumnya Polypterus bersifat nokturnal, di mana aktivitas predasinya dilakukan pada malam hari. Ikan ini sangat gesit mencari makan, dan mampu menghabiskan satu malam hanya untuk mencari makan; berenang di dasar dan sesekali kepermukaan untuk respirasi.
Polypterus bersifat kanibal, tetapi cenderung memangsa ikan-ikan kecil, serangga air, dan mini-amfibia. Joe (2004) mendokumentasikan tingkah laku ini dalam beberapa kondisi, dan melaporkan bahwa Polypterus lebih dominan berenang dan berjalan di dasar daripada permukaan air. Kemampuan adaptatif ini beralasan karena memiliki sirip dada dan sirip anal yang keras berbentuk lobus dan mampu menopang seluruh bobot badannya. Hal yang similar juga didemonstrasikan oleh sederetan ikan purba lainnya, seperti Lungfish dan Coelacanth.
Sistem Respirasi
Sistem pernafasan dan penyerapan O2 pada Polypterus ada dua tahap yaitu pertama, sistem respirasi normal; yang kedua adalah sistem alternasi dengan menggunakan gas pada paru-parunya. Kedua sistem ini menjamin Polypterus mampu bertahan lama di dasar habitatnya baik pada perairan minor-oksigen hingga perairan setengah
kering (Palomares et al., 2003). Tingkat konsumsi oksigennya tergantung dari pola aktivitas, umur ikan, dan ketersediaan oksigen itu sendiri (Babiker, 1984).
Paru-paru pada ikan ini sangat fenomenal karena diperkaya kolesterol dan mampu menghasilkan beberapa turunan posfolipida yang jauh lebih tinggi sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan hewan menyusui di daratan.
Smith (1994) melaporkan bahwa petukaran gas O2 di dalam paru-paru pada ikan primitif sama dengan paru-paru pada hewan bertulang belakang.
Spesies Koleksi dan Fitur Morfologis
Kemolekan fenotipik Polypterus dibalut dengan sisik tebal-keras, seperti pada kebanyakan spesies ikan prasejarah, di mana dominansi siripnya lebih banyak ditemukan di bagian dorsal. Selain itu, topologi tiap siripnya dipertegas dengan jarak selaput keras yang tahan terhadap kondisi fragmentasi habitatnya.
Sisik ikan ini tergolong “ganoid” yang menyerupai bentuk “kosmoik” yang tertanam kuat dan sangat keras. Sisik- sisik ganoid adalah sisik yang ditemukan pada ikan-ikan famili Lepisosteidae dan Polypteridae. Sisik berbentuk ketupat, mengkilap, dan keras. Deretan sisik keras-kuat tersebut menjadi pelindung yang baik bagi permukaan dagingnya dari ektrusi cairan tubuh akibat tekanan dan kualitas lingkungannya.
Beberapa sumber melaporkan bahwa Polypterus mampu bertahan di luar habitat normalnya tanpa air hingga 2 hari, karena bagian dalam tubuhnya dilindungi sisik ganoid ini (Britz, 2004; Hanssens et al., 1995).
Determinasi Seks (Kelamin)
Primitivisme Polypterus mengukirkan sejarah panjang tentang diferensiasi gender seksualnya. Boulenger (1907) memberikan hipotesa besar bahwa kemungkinan besar jenis kelamin Polypterus dapat dikenali dari tipe postur sirip anal. Sayangnya, studi dimorfisme seksual ikan ini stagnan hampir satu abad lamanya.
Sekitar 86 tahun kemudian, Komagata et al. (1993) melangsir hasil risetnya bahwa karakter morfologi penanda diferensiasi seks dapat dilihat dari penampilan jumlah sirip analnya, formasi tulang dorsal dan tingkat kehalusan dari tiap struktur sisik lateralisnya. Ikan palmas jantan pada populasi senegal (Polypterus senegallus) memiliki basal sirip anal yang tebal dan lebar yang memungkinkan tingginya probabilitas ditumbuhi jumlah jari sirip anal yang jauh lebih banyak daripada betina. Posisi tulang basal sirip anal bagi palmas jantan cenderung ke bagian posterior mendekati hipural kunjungsif (pangkal/basal) sirip ekornya, sedangkan palmas betina cenderung ke interior abdomental dan menjauhi basal hipural sirip ekor.
Sistem Reproduksi
Tingkah laku reproduksi dapat dilihat pada jantan dan betina yang sudah matang gonad, dengan fitur berenang berduaan, proses saling kenal dan peningkatan eksresi hormonal berlangsung sekitar 3–7 hari. Tingkah laku yang paling menonjol adalah ekpresi dua moncong kepalanya yang saling bersinggungan satu sama lain, seiring dengan waktu yang relatif singkat, pasangan tersebut mulai mencari tempat yang terisolasi dan redup dari pencahayaan.
Di alam, Polypterus menggunakan tumbuhan perdu akuatik sebagai peraduan yang baik untuk memijah. Pengalaman empiris penulis, bahwa wadah peraduannya dapat dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan bahan lokal, seperti utasan-jumbai tali rafia yang dibentuk seperti pakis air.
Setelah betina melepaskan telur-telurnya, diikuti sang jantan mengekstrusi dengan spermanya, kondisi inilah puncak ereksi seks keduanya sebagai tanda lahirnya generasi baru. Seekor betina Polypterus dapat meng- hasilkan 100–300 butir telur. Untuk mengurangi kanibalisme, sesaat setelah telur-telur dilepaskan oleh betina dan pasca pembuahan ovum, segera mungkin kedua induknya dipisahkan atau ditransfer ke bak lainnya. Telur-telur akan menempel pada jumbai rafia dan akan menetas dalam waktu 3 hari (Subamia et al., 2008).
Telur- telur Polypterus memiliki bentuk morfologi yang unik dibandingkan dengan teleostei lainnya. Ukuran telurnya rata-rata 25 µm dan memiliki dua buah kutub hitam-putih, kontraksi pembelahan ovunal sangat stabil dan sempurna, ciri identitas spesies-spesies primitif.
Selain itu, pembelahan sel palmas sangat sempurna mencirikan hewan ini masih primitiv (Subamia et al., 2008).
Perkembangan ontogeni Polypterus sangat unik- fenomenal, saat fase
burayak, overculum eksternal umumnya ditumbuhi sirip lunak, kemungkinan
besar diduga adalah fase awal perkembangan insang yang melewati
overculum, dalam kondisi ini, burayak Polypterus sangat rentan dengan
predasi. Penonjolan sirip lunak tersebut juga ditemukan pada ikan
Salamander, anehnya, sirip tersebut tereduksi seiring dengan
laju-intergresi ontogenitif menuju dewasa.
Pengelolaan burayak Polypterus tidak terlalu susah, larva dapat ditransfer ke wadah yang lebih kecil untuk mempermudah pengontrolan (kesehatan larva, kualitas air, kontrol pakan, dan pemberiannya). Kuning telur larva mulai terlihat mengecil pada umur 7 hari, pada fase ini kita dapat memberikan pakan tambahan berupa Moina sp. Pada umur 20 hari, larva-larva sudah dapat diberikan pakan Artemia dan jentik Culex sp. Seiring dengan waktu hingga yuwana, Polypterus dapat diberikan cacing darah , cacing tanah, keong mas, dan atau ikan teri yang dicacah.
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok, telah berhasil memijahkan Polypterus asal Senegal pada medio 2008 dan 2009. Subamia et al. (2008) melaporkan bahwa pada umur 10 bulan, gonad jantan dan betina sudah terbentuk sempurna, yang mengindikasikan bahwa ikan ini termasuk dalam takson ikan yang cepat dewasa.
Keterangan: 1). Sel membelah menjadi dua, 2) sel membelah menjadi empat, 3) sel
membelah menjadi delapan, 4) pemb elahan sel (dilihat dari samping), 5)
rongga blastula mulai terbentuk (blastula awal), 6) blastula, 7) kutub
putih mulai meng ecil, 8) diferensiasi sempurna bagian putih sudah
tertutupi pembentukan embrio dimulai, 9) embrio awal, 10) embrio siap me
netas, 11) terbentuk sirip ikan pada hari ketiga setelah menetas, 12)
larva umur 7 hari
Sumber :
Media Fitri Isma Nugraha, Primitivisme ikan polypterus sebagai warisan manusia modern, Balai Riset Budidaya Ikan Hias
Dalam ekspedisinya mencari daratan kolonisasi, Raja Napoleon selalu membawa gloria biologis ternama pada zamannya, yaitu Geoffroy dan Hillarie dari Museum Naturelle d’Histoire dan Academie Royale des Sciences (Fessy, 1998). Tujuan pendampingan selama ekspedisi ekspansial Perancis tersebut, untuk mengkarakterisasi dan mengoleksi diversitas biotop yang ditemuinya.
Distribusi spesiesnya sangat luas dengan sentrum diversitas tepat di jantung Benua Afrika (Roberts, 1975; Otero et al., 2006). Spesies-spesies Polypterus terkenal kanibalisme, dan memakan insekta air, dan katak kecil. Di sisi lain, Polypterus sangat resisten dengan perubahan habitat, dan mampu bertahan hidup pada kondisi air yang ekstrim. Resistensi ini beralasan karena dibalut karakter morfologi yang keras-kuat di mana evolusi adaptatifnya jauh lebih tua dibandingkan dengan takson teleostei lainnya (Gosse, 1990).
Tubuh Polypterus memanjang lonjong yang diakhiri dengan fluks ekor warna krem. Bagian posterior caudal ikan ini tergolong diphycercal (tipe caudal similar dengan Coelacanth) seperti pada kebanyakan spesies ikan purba yang masih tersisa (Britz, 2004). Dalam dekade terakhir semua spesies Polypterus sudah dapat didomestikasi dan dikembangkan menjadi ikan hias. Toleransinya pada multi-habitat, kontur-postural badan yang unik, dimorfisme, dan tingkah laku lainnya dalam akuarium menjadi sederetan kalkulasi menarik bagi penggemar ikan hias di lima benua. Kegembiraan para penggemar ikan hiaspun membumbung karena pada kesimpulannya ikan ini sangat mudah dibudidayakan. Selain karena maksud “menggemari” dan sebagai asuhan pada domain akuaria, manusia modern sesungguhnya secara tidak langsung telah mereservasi spesies primitif untuk sebuah keberlangsungan warisan dunia.
Daratan tertua se-planet “Afrika” dialiri ribuan ekosistem riverin (sungai), baik sungai besar dan kecil hingga perairan semi-lentik. Ekosistem akuatik yang kaya nutrisi di bagian tengah Afrika adalah rumah bagi 17 spesies taksa Polypterus (Roberts, 1975).
Dsitribusi spesiesnya hampir merata di Afrika tengah, ekspansinya berlangsung di bawah skenario isolasi fragmen habitat “Allopatrik” sejak pertengahan Miosen (10 juta tahun lalu). Pada bagian timur Afrika, dihuni dua spesies ( P. bichir dan P. endlicheri). Di bagian tengah Afrika, Sungai Zaire, sains mencatat fenomena isolasi spesies secara “Simpatrik” yang didiami oleh 7 spesies dan 3 sub spesies (P. endlicheri, P. congicus, P. ornatipinis, P. delhenzi, P. palmas, P. retropinis, dan P. poli). Masih di daratan tengah Afrika, sungai-sungai besar di region Katanga dihuni tiga spesies yang diduga sebagai spesies sinonimous karena tingginya plastisitas fenotipiknya yaitu P. ornatipinis, P. bichir, dan P. weeksii. Bagian barat Afrika, tepatnya di Nigeria, takson ini mendiami beberapa ekosistem riverin dan lakustrin dengan distribusi 5 spesies ( P. endlicheri, P. bichir lapradei, P. endlicheri, P. senegalus (Hanssens et al., 1995; Brunet, 2000), kawasan ini pula menjadi habitat yang baik bagi satu spesies sister-intergenerik Erpetrichthys calabaricus (Kodera et al., 1992)
Referensi ilmiah teraktual melaporkan bahwa Polypterus masih menyisakan perdebatan krusial di kalangan masyarakat ilmiah, karena posisi jejak relasi-evolusinya jauh lebih tua dibandingkan dengan tetua Teleostei lainnya (Gallo, 2004; Rocco et al., 2004; Noack et al., 2006; Suzuki et al., 2010).
Habitat dan Tingkah Laku
Pada observasi ekologi dan habitatnya, spesies-spesies Polypterus umumnya ditemukan di perairan aliran lambat, rawa genangan, tepian sungai, dan danau-danau semi tertutup yang dominan ditumbuhi vegetasi akuatik (Poully, 1993; Reichard, 2008). Di habitat aslinya, “Palmas” hidup di dasar sungai yang sedikit keruh dan dangkal sebagai salah satu faktor pendukung predasi. Secara global menyukai perairan dengan temperatur ekuatorial antara 25°C–28°C dengan pH netral hingga sedikit asam (Hanssens et al., 1995).
Spesiesnya sangat toleran terhadap kualitas air dan temperatur yang rendah, toleransi ini diduga kuat karena proses adaptasi-evolusinya yang kuat sejak pertengahan Miosen (Britz, 2004). Parameter lain, Patterson (1982) melaporkan bahwa umumnya Polypterus bersifat nokturnal, di mana aktivitas predasinya dilakukan pada malam hari. Ikan ini sangat gesit mencari makan, dan mampu menghabiskan satu malam hanya untuk mencari makan; berenang di dasar dan sesekali kepermukaan untuk respirasi.
Polypterus bersifat kanibal, tetapi cenderung memangsa ikan-ikan kecil, serangga air, dan mini-amfibia. Joe (2004) mendokumentasikan tingkah laku ini dalam beberapa kondisi, dan melaporkan bahwa Polypterus lebih dominan berenang dan berjalan di dasar daripada permukaan air. Kemampuan adaptatif ini beralasan karena memiliki sirip dada dan sirip anal yang keras berbentuk lobus dan mampu menopang seluruh bobot badannya. Hal yang similar juga didemonstrasikan oleh sederetan ikan purba lainnya, seperti Lungfish dan Coelacanth.
Gambar Posisi ikan Polypterus saat berjalan di dasar akuarium
Sistem Respirasi
Sistem pernafasan dan penyerapan O2 pada Polypterus ada dua tahap yaitu pertama, sistem respirasi normal; yang kedua adalah sistem alternasi dengan menggunakan gas pada paru-parunya. Kedua sistem ini menjamin Polypterus mampu bertahan lama di dasar habitatnya baik pada perairan minor-oksigen hingga perairan setengah
kering (Palomares et al., 2003). Tingkat konsumsi oksigennya tergantung dari pola aktivitas, umur ikan, dan ketersediaan oksigen itu sendiri (Babiker, 1984).
Paru-paru pada ikan ini sangat fenomenal karena diperkaya kolesterol dan mampu menghasilkan beberapa turunan posfolipida yang jauh lebih tinggi sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan hewan menyusui di daratan.
Smith (1994) melaporkan bahwa petukaran gas O2 di dalam paru-paru pada ikan primitif sama dengan paru-paru pada hewan bertulang belakang.
Spesies Koleksi dan Fitur Morfologis
Kemolekan fenotipik Polypterus dibalut dengan sisik tebal-keras, seperti pada kebanyakan spesies ikan prasejarah, di mana dominansi siripnya lebih banyak ditemukan di bagian dorsal. Selain itu, topologi tiap siripnya dipertegas dengan jarak selaput keras yang tahan terhadap kondisi fragmentasi habitatnya.
Sisik ikan ini tergolong “ganoid” yang menyerupai bentuk “kosmoik” yang tertanam kuat dan sangat keras. Sisik- sisik ganoid adalah sisik yang ditemukan pada ikan-ikan famili Lepisosteidae dan Polypteridae. Sisik berbentuk ketupat, mengkilap, dan keras. Deretan sisik keras-kuat tersebut menjadi pelindung yang baik bagi permukaan dagingnya dari ektrusi cairan tubuh akibat tekanan dan kualitas lingkungannya.
Beberapa sumber melaporkan bahwa Polypterus mampu bertahan di luar habitat normalnya tanpa air hingga 2 hari, karena bagian dalam tubuhnya dilindungi sisik ganoid ini (Britz, 2004; Hanssens et al., 1995).
Determinasi Seks (Kelamin)
Primitivisme Polypterus mengukirkan sejarah panjang tentang diferensiasi gender seksualnya. Boulenger (1907) memberikan hipotesa besar bahwa kemungkinan besar jenis kelamin Polypterus dapat dikenali dari tipe postur sirip anal. Sayangnya, studi dimorfisme seksual ikan ini stagnan hampir satu abad lamanya.
Sekitar 86 tahun kemudian, Komagata et al. (1993) melangsir hasil risetnya bahwa karakter morfologi penanda diferensiasi seks dapat dilihat dari penampilan jumlah sirip analnya, formasi tulang dorsal dan tingkat kehalusan dari tiap struktur sisik lateralisnya. Ikan palmas jantan pada populasi senegal (Polypterus senegallus) memiliki basal sirip anal yang tebal dan lebar yang memungkinkan tingginya probabilitas ditumbuhi jumlah jari sirip anal yang jauh lebih banyak daripada betina. Posisi tulang basal sirip anal bagi palmas jantan cenderung ke bagian posterior mendekati hipural kunjungsif (pangkal/basal) sirip ekornya, sedangkan palmas betina cenderung ke interior abdomental dan menjauhi basal hipural sirip ekor.
Sistem Reproduksi
Tingkah laku reproduksi dapat dilihat pada jantan dan betina yang sudah matang gonad, dengan fitur berenang berduaan, proses saling kenal dan peningkatan eksresi hormonal berlangsung sekitar 3–7 hari. Tingkah laku yang paling menonjol adalah ekpresi dua moncong kepalanya yang saling bersinggungan satu sama lain, seiring dengan waktu yang relatif singkat, pasangan tersebut mulai mencari tempat yang terisolasi dan redup dari pencahayaan.
Di alam, Polypterus menggunakan tumbuhan perdu akuatik sebagai peraduan yang baik untuk memijah. Pengalaman empiris penulis, bahwa wadah peraduannya dapat dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan bahan lokal, seperti utasan-jumbai tali rafia yang dibentuk seperti pakis air.
Setelah betina melepaskan telur-telurnya, diikuti sang jantan mengekstrusi dengan spermanya, kondisi inilah puncak ereksi seks keduanya sebagai tanda lahirnya generasi baru. Seekor betina Polypterus dapat meng- hasilkan 100–300 butir telur. Untuk mengurangi kanibalisme, sesaat setelah telur-telur dilepaskan oleh betina dan pasca pembuahan ovum, segera mungkin kedua induknya dipisahkan atau ditransfer ke bak lainnya. Telur-telur akan menempel pada jumbai rafia dan akan menetas dalam waktu 3 hari (Subamia et al., 2008).
Telur- telur Polypterus memiliki bentuk morfologi yang unik dibandingkan dengan teleostei lainnya. Ukuran telurnya rata-rata 25 µm dan memiliki dua buah kutub hitam-putih, kontraksi pembelahan ovunal sangat stabil dan sempurna, ciri identitas spesies-spesies primitif.
Selain itu, pembelahan sel palmas sangat sempurna mencirikan hewan ini masih primitiv (Subamia et al., 2008).
Gambar Sarang buatan untuk pemijahan ikan Polypterus yang terbuat dari tali rafia
Pengelolaan burayak Polypterus tidak terlalu susah, larva dapat ditransfer ke wadah yang lebih kecil untuk mempermudah pengontrolan (kesehatan larva, kualitas air, kontrol pakan, dan pemberiannya). Kuning telur larva mulai terlihat mengecil pada umur 7 hari, pada fase ini kita dapat memberikan pakan tambahan berupa Moina sp. Pada umur 20 hari, larva-larva sudah dapat diberikan pakan Artemia dan jentik Culex sp. Seiring dengan waktu hingga yuwana, Polypterus dapat diberikan cacing darah , cacing tanah, keong mas, dan atau ikan teri yang dicacah.
Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok, telah berhasil memijahkan Polypterus asal Senegal pada medio 2008 dan 2009. Subamia et al. (2008) melaporkan bahwa pada umur 10 bulan, gonad jantan dan betina sudah terbentuk sempurna, yang mengindikasikan bahwa ikan ini termasuk dalam takson ikan yang cepat dewasa.
Gambar Kompilasi perkembangan embrio Polypterus (Subamia et al., 2008)
Sumber :
Media Fitri Isma Nugraha, Primitivisme ikan polypterus sebagai warisan manusia modern, Balai Riset Budidaya Ikan Hias
https://kuyahejo.com/ikan-palmas/
https://wanipira.com/ikan-hias-air-tawar/#Ikan_hias_air_tawar_hiu_bala-bala
https://www.dictio.id/t/apa-yang-kamu-ketahui-tentang-ikan-naga-palmas/111632/3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar